Minggu, 29 Desember 2013
MC YASIN TAHLIL BAHASA JAWA HADROTAL MUKARROMIN poro alim, poro ulama’ , sesepuh pini sepuh, masyrakat jemur ngawinan ingkang kulo hormati, poro bapak” pirawuh lan shohibul bait ……………………….. sekeluarga.. monggo kito sareng” manjataken syukur Alhamdulillah kehdirat allah swt, dene punopo ing dalu puniko kito tansah dipun paring kesehatan soho kesempatan sehinggo kito sanget anggarawui undanganipun bpk………… sek, kanti kawastanan sehat wal afiyat, monggo kito lahiraken kanti waosan ALHAMDULILLAH HIROBBIL ALAMIN… sholawat soho salam mugio tetep katur dumateng junjungan kito nabi agung Muhammad saw. Ingkang smpun beto kito saking jaman jahiliyah dumugi zaman islamiyah ngh puniko arupi agami islam, ALLAHUMMASHOLLI ALA MUHAMMAD.. mugio kanty maosan sholawat meniko kito tansah di akui umatipun nabi Muhammad benjang ing dinten kiyamat.. amiinnn,,,,,,,,,,,,, PORO bpk jamaah ingkang kulo hurmati, tn mriki kulo sebagai pebawa acara , bade maosaken susunan acara ing dalu puniko. 1. Pembikaan 2. waosan surat yasin lan tahlil 3. penutup arupi doa Bpk” hadirin igkang kawulohrmati , monggo acara ing dalu meniko kito buka sareng” kanti waosan ummul quran , mugio acara dalu meniko saget brjalan lancar,lan pikantok ridhonipun ALLAH SWT… ALA HADINNIYYAH BISYAFAATI ROSULILLAH.. ALFAATIHAH Acara ingkang ongko kaleh inggih puniko waosan surat yasin lan tahlil, ingkang bade dipun imami kalian ustd…………..lan ……………… dumateng panjenanginipun kulo sumangga’aken ALAHAMDULILLAH ….. mekaten kolo wau waosan surat yasin lan tahlil ingkang sampun kito waos sesarengan, mgio kanti waosan surat yasin lan tahlil meniko, sedoyo amal saenipun ALM……….dipun trami dening Allah SWT, lan sedoyo doso” dipun ngapuro dining Allah swt. Lan akhiripun dipun lebetaken dining swargonipon ALLAH SWT. AMIINN….. acara sak lajengipon enggh puniko waosan doa, sak derengipun doa dipon waos, kulo minagkane wakil saking ………….. mbok bilih wonten pasugatan, palenggahan engkang ,mboten nyeceki dumateng manah penggalih bpk” hadirin sodoyo bpk……….. nyuwun agungipun pangapunten, lan atas rawohipun bpk” sdoyo. ………. Kulo aturi matur swun sak katah”ipun.. lan saking kulo pribadi mbokbilih anggen kulo matur wonten salah lepatipun, kulo nyuwun agungipon pangapunten, saking kulo wassalamualikum wrwb… doa dipun imami kalian ust. SUYONO.. dumateng panjenenganipon kulo sumanggaaken…
Sabtu, 07 Desember 2013
makalah siiiap edar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia telah mengenal ihwal akad sejak dahulu kala.Bukan suatu hal yang
aneh, jika ada orang yang mengikat dirinya dengan transaksi yang harus
dilaksanakan saat itu juga atau beberapa waktu berikutnya.Namun belum diketahui
secara pasti bagaimana pemikiran untuk mengadakan transaksi itu muncul dan
faktor dominan yang melatarbelakanginya.Semua yang diungkap dalam masalah ini
hanyalah perkiraan semata.
Sebagian pakar ekonomi
memandang bahwa transaksi yang dikenal pertama kali yaitu barter tunai. Yaitu
ketika butuh sesuatu, ia menukar barang miliknya dengan barang orang lain yang
dia butuhkan. Kemudian transaksi ini mengalami perkembangan sesuai dengan
keonsep pemikiran dan agama yang berkembang pada suatu masyarakat, sampai Islam
membawa konsep akad transaksi yang indah dan istimewa.
Manusia sebagai makhluk
sosial pasti butuh pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ini berarti,
setiap orang pasti butuh untuk hidup bersama dengan orang disekelilingnya.Allâh
yang Maha Pengasih dan Maha Tahu memberikan anugerah kepada manusia dengan
menciptakan alam semesta untuk mereka.
Setiap orang
mendapatkan rezeki dan kemudahan yang berbeda-beda. Dan apa yang sudah menjadi
milik orang, maka itu tidak boleh direbut atau diambil kecuali dengan transaksi
yang dibenarkan syari'at. Khususnya yang terkait dengan pengelolaan dana
(harta). Akad atau transaksi itu teramat penting.Transaksi inilah yang mengatur
hubungan antar pihak yang terlibat.Transaksi itu juga yang mengikat hubungan
antara kedua transaktor sejak akad dimulai sampai masa berlakunya habis.
Warisan ilmu fikih yang
kita miliki memuat berbagai rincian dan penetapan dasar-dasar berbagai macam
akad tersebut sehingga tujuan akad bisa terealisasi dan memenuhi kebutuhan
umat.
Semakin jelas rincian
dan kecermatan dalam membuat transaksi, maka peluang konflik dan pertentangan
yang mungkin timbul di masa mendatang semakin kecil. Dari sini, seorang muslim
mestinya tertantang untuk serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari
menyusun konsep, managemen dan mensukseskannya.
Oleh sebab
itu, sangat diperlukan penjelasan umum tentang hukum-hukum yang berkaitan
dengan transaksi, terutama saat berbagai transaksi menggiurkan bermunculan
seperti jamur di musim hujan.Antusias masyarakat luas dan respon positip mereka
telah mengecoh banyak kaum Muslimin untuk ikut andil.Padahal seharusnya sebagai
seorang Muslim, kita harus melihat dan menimbangnya dengan aturan agama
kita.Jika tidak bertentang dengan prinsip agama dan berminat, baru ikut andil.Jika
bertentangan, maka tinggalkanlah meski nafsu sangat menginginkannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud Akad?
2.
Apa
saja syarat dan rukun Akad?
3.
Sebutkan
macam-macam Akad?
4.
Bagaimana
berakhirnya Akad?
C.
Tujuan
1.
Mampu
menjelaskan pengertian Akad.
2.
Mampu
memahami syarat dan rukun Akad.
3.
Mampu
memahami macam-macam Akad.
4.
Mampu
menjelaskan berakhirnya Akad.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
akad
Akad berasal dari
bahasa Arab ( العقد
) jama’nya ( العقود
) yang berarti
ikatan, mengikat. Dan dapat juga diartikan sebagai العقدة
(sambungan), العهد
(janji). Namun
secara garis besarnya adalah:
وهو
جمع طر في حبلين ونحو هما وشد احدهما بالاخر يتصل فيصبحا كقطعة واحدة
“Yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua
ujung tali dan mengikatnya salah satu dari pada yang lainnya hingga keduanya
bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu”.
Pengertian lafdiyah ini sebagai mana
yang tertlis dalam kitab suci al-Qur’an yang berbunyi:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr&
ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. ”(Q.S al-Maidah:
01)
Dalam terminologi hukum Islam akad didefinisikan sebagai berikut:
ارتباط
ايجاب بقبول على وجه مشروع بثبت أثره فى محله
“Akad
adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya”.[1]
Menurut Mustafa
al-Zarqa’ dalam kitabnya al-Madhkal al-Fiqh al’Amm, bahwa yang
dimaksud al-Rabtb yang dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi yakni; “Menghimpun
atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya
hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.” [2]
Yang dimaksud dengan ايجاب dalam
definisi akad adalah ungkapan atau penyataan kehendak melakukan perikatan
(akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama. Proses
perikatan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan proses perikatan yang
dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUHPer. Subekti member pengertian
perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan
perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Hal ini seperti yang tertuang dalam Pasal 1233 KUHPer
bahwa, perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan
Jadi perbedaan
perikatan dalah hukum Islam dengan yang ada di KUHPer adalah tahap
perjanjiannya. Pada Islam janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua
(merupakan dua tahap), baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUHPer,
perjanjian antar pihak pertama dan kedua adalah satu tahap yang kemudian
menimbulkan perikatan diantara mereka. Dan yang juga yang membedakannya adalah
pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan qabul) dalam tiap
transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan
dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan qabul), maka terjadilah العقد
(perikatan).
Dalam kaidah fiqih dikemukakan yakni:
Hukum asal dalam
transaksi adalah keridlaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah
berlaku sahnya yang diakadkan.[3]
Maksud
keridlaan tersebut yakni keridlaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip.
Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridlaan
kedua belah pihak.
B. Syarat
Terbentuknya Akad (Syuruth al-In’iqad)
Masing-masing rukun
yang membentuk akad diatas memerlukan syarat-syarat agar unsur itu dapat
berfungsi membentuk akad. Dalam hukum Islam, syarat-syarat dimaksud dinamakan
syarat-syarat terbentuknya akad (Syuruth al-In’iqad). Rukun pertama, yaitu para
pihak harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu (1) tamyiz, dan (2)
berbilang (at-ta’addud). Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi
dua syarat juga, yaitu (1) adanya persesuaian ijab dan Kabul, dengan kata lain
tercapianya kata sepakat dan (2) kesatuan majelis akad. Rukun ketiga, yaitu
objek akad, harus memenihi tiga syarat, yaitu (1) objek itu dapat diserahkan,
(2) tertentu atau dapat ditentukan, dan (3) objek dapat ditransaksikan. Rukun keempat
memerlikan satu syarat, yaitu tidak bertentanfan dengan syara’.
Ada beberapa Syarat akad, yaitu syarat terjadinya
akad, syarat sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (lujum).
1.
Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala
sesuatu yang di syaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak
memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi atas dua
bagian:
a.
Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada
pada setiap akad.
b.
Khusus, yakni syarat-syarat yang harus
ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya.
2.
Syarat sah akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu
yang disyaratkan oleh syara’ untk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak
terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada
setiap akad, Ulama Hanafiyah mensyaratkan seseorang terhindar dari enam
kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu,
perkiraan, ada unsure kemadhoratan, dan syarat-syarat jaul beli rusak (fasid).
3.
Syarat pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan aka ada dua syarat,
yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh
seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai
dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah, kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf
sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh
dirinya, maupun sebagai pengganti (menjadi wakil seseorang).
Dalam
hal ini disyaratkan antara lain:
a.
Barang yang dijadiakn akad harus
kepunyaan orang yang akad, jika dijadiakan, maka sangat bergantung kepada izin
pemiliknya yang asli.
b.
Barang yng dijadikan tidak berkaitan
dengan kepemilikan orang lain.
4.
Syarat Kepastian Hukum (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian.
Diantara syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa
khiyar jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum
tampak, maka akan batal atau dikembalikan.[4]
C. Rukun
Akad
Terdapat perbedaan di
kalangan fuqaha tentang rukun akad ini, dan menurut mayoritas jumhur
ulama’adalah:
1.
Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dalam akad;
2.
Mahallul
‘aqd, obyek akad atau
sesuatu yang hendak diakadkan;
3.
Sighat
al-‘aqd, pernyataan kalimat
akad, yang pada umumnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.
Rukun menurut pengertian istilah fuqaha
dan ahli ushul adalah:
ما
يكون به قوام الشيئ ووجوه بحيث يعيد جزأ داخلا فى ماهيته
“Sesuatu yang menjadikan tegaknya dan
adanya sesuatu sedangkan bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang
ditegakkan”.
Berdasarkan pengertian
diatas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul.
Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya, kerana
pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Sebagaimana yang
berlaku pada ibadah, misalnya shalat, diman orang yang melakukan shalat tidak
dapat dipandang sebagai rukun shalat. Atas dasar ini al-Aqid (orang atau
pihak yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. Namun
sebagian fuqaha seperti Imam al-Ghazali, ulama’ Syafi’iyah memandang al-Aqid
sebagai rukun akad, dengan alasan ia merupakan salah satu pilar utama dalam
tegaknya akad. Demikian juga dengan pendapat Syihab al-Karakhi, dari kalangan
Malikiyah. Ada sebuah kaidah Fiqh mengatakan yakni:
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” [5]
D. Unsur-unsur
Akad
Unsur-unsur akad adalah
sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu berikut ini:
1.
Shighat Akad
Shighat akad adalah
sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa
yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat
diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan. Fiqh Muamalah
menetapkan sejumlah persyaratan umum yang harus terpenuhi dalam setiap shighat
akad, yaitu sebagai berikut:
a.
Jala’ul ma’na (dinyatakan
dengan ungkapan yang jelas dan pasti maknanya), sehingga dapat dipahami jenis
akad yang dikehendaki (melalui ungkapan lisan);
b.
Tawafuq/tathabuq bainal ijab
wal-qabul (persesuaian antara ijab dan qabul);
c.
Jazmul iradataini (ijab
dan qabul mencerminkan kehendak masing-masing pihak secara pasti) tidak
menunjukkan adanya unsure keraguan dan keterpaksaan;
d.
Ittishal al-Qabul bil Ijab, dimana
kedua pihak dapat hadir dalam satu majlis.
Syarat-syarat sighat
diatas khususnya yang pertama adalah akad harus jelas hal ini ditekankan pada
ucapan lisan. Namun akad juga bias dilakukan dengan tulisan, artinya kehendak
yang dinyatakan melalui tulisan yang jelas itu sudah mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan diucapkan secara lisan. Bagi orang yang tidak dapat mengungkapkan
kehendaknya secara lisan, karena cacat wicara, maka tulisan adalah solusi
terbaik selama dapat dibuktikan keaslian tulisan tersebut. Tulisan juga
merupakan solusi bagi pihak-pihak yang berhalangan bertemu secara langsung.
Dalam hal ini terdapat sebuah kaidah Fiqhiyah:
الكتابة
بين الغا ئبين كا النقط بين الخا ضرين
“Tulisan bagi orang-orang yang
berhalangan hadir sepadan dengan tulisan bagi orang yang hadir”.
Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, sah melakukan akad melakui tulisan ini
bagi yang cacat wicara maupun tidak, bagi orang yang berhalangan hadir maupun
bagi orang yang hadir. Tetapi akad seperti ini tidak berlaku bagi akad zawaj
(perkawinan). Dan jika dikaitkan dengan rukun akad (ijab dan qabul), maka
akibat hukum dari ijab yang dinyatakan melalui tulisan berlaku terhitung sejak
diterima akad dan disetujui oleh pihak lainnya, tidak terhitung sejak ditulis.
Sighat akad juga dapat
dilakukan melalui isyarat yang menunjukkan secara jelas kehendak pihak-pihak
yang melakukan akad. Akad dengan isyarat ini berlaku khusus bagi orang yang
tidak dapat bicara (bisu) dan tidak dapat pula menulis. Adapun sighat
berikutnya juga dapat berupa dalalah (petunjuk), yakni keberlangsungan
akad dikaitkan dengan suatu perbuatan tertentu yang menunjukkan persetujuan
kedua pihak. Akad melalui dalalah ini berlangsung dalam dua bentuk
yaitu:
Pertama, Ta’athi
atau mu’athah (saling member dan menerima), maksudnya ketika masing-masing
pihak melakukan suatu perbuatan dalam batas situasi dan kondisi yang
menunjukkan kehendak melakukan suatu transaksi (akad). Seperti akad jual-beli
yang terjadi di swalayan, supermarket dan lain-lain. Kedua, lisanul hal
yaitu kondisi tertentu yang menunjukkan kepada suatu ungkapan. Misalnya ketika
seseorang menaruh suatu barang dihadapan kita, kita diam saja. Maka perbuatan
tersebut mengidentifikasikan ungkapan penitipan barang (wadi’ah) dan
jika kita diam, artinya kita berkenan dititipi barang tersebut.
2.
Al-Aqid (orang yang berakad)
Al-Aqid adalah
orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting karena tidak dapat
dikatakan akad jika tidak ada aqid. Begitu juga tidak akan terjadi ijab
dan qabul tanpa adanya aqid. Secara umum, aqid disyaratkan harus
ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukan akad atau mampu menjadi pengganti
orang lain jika ia menjadi wakil. Ulama’ Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan
aqid harus berakal, yakni sudah mumayyiz anak yang agak besar yang
pembicaraannya dan jawaban yang dilontarkan dapat dipahami, serta berumur
minimal 7 tahun. Oleh karena itu dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukan
oleh anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’
Syafi’iyah dan Hanbaliyah menyaratkan aqid harus baligh, berakal, telah mampu
memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, seorang anak kecil melakukan
akad yang sederhana tetapi harus seizing dengan walinya.
3.
Mahal aqd (al-Ma’qud Alaih)
Mahal aqd (al-Ma’qud
Alaih) adalah obyek akad atau benda-benda yang dijadikan
akad yang bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta
benda, seperti barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad
perkawinan, dan dapat pula berbentuk kemanfaatan seperti dalam masalah upahlgaji
dan lain-lain.
Dalam islam tidak semua
barang dapat dijadikan obyek akad misalnya minuman keras, oleh karena itu para
Fuqaha menetapkan lima syarat barang-barang yang bisa dijadikan obyek akad,
yaitu:
a. Ma’qud
alaih (barang) harus ada ketika akad;
- Ma’qud alaih harus masyru’ (sesuai ketentuan syara’);
- Dapat diberikan waktu akad;
- Ma’qud alaih harus diketahui oleh kedua belah pihak yang akad melangsungkan akad;
- Ma’qud alaih harus suci.
4.
Maudhu (Tujuan) Akad
Maudhu akad
adalah maksud utama disyariatkan akad. dalam syariat islam, Maudhu akad
ini harus benar dan sesuai dengan ketentuan syara’. Sebenarnya Maudhu akad
adalah sama meskipun berbeda-beda barang dan jenisnya. Misalnya pada akad
jual-beli, Maudhu akad adalah pemindahan kepemilikan barang dari penjual
kepada pembeli. Maudhu akad pada hakikatnya satu arti dengan maksud asli
akad dan hukum akad. Hanya saja, maksud asli akad dipandang sebelum terwujudnya
akad, hukum dipandang dari segi setelah terjadinya akad atau akibat terjadinya
akad, sedangkan Maudhu akad berada diantara keduanya.
Pembahasan ini sangat
erat kaitannya dengan hubungan dzahir akad dan batinnya. Diantara para ulama’,
ada yang memandang bahwa akad yang shahih harus bersesuaian antara dzahir dan
batin akad. Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah menetapkan beberapa hukum akad yang
dinilai secara dzahir sah, tetapi makruh tahrim: yaitu jual-beli yang menjadi
perantara munculnya riba, menjual anggur untuk dijadiakan khamr dan lain-lain. Dalam hukum Islam ada batas-batasnya yakni sepanjang
tidak makan harta sesama dengan jalan batil. Sesuai firman Allah Surat An
Nisaa’ ayat 29 yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[6];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [7]
E.
Macam-macam Akad
Pembagian macam-macam
akad ini dapat ditilik darai bervagai macam aspek dan sudut pandang yang
berbeda-beda, yaitu:
1.
Berdasarkan ketentuan syara’
a.
Akad shahih adalah akad yang
memenuhi unsure dan syarat yang ditentukan oleh syara’. Dalam istilah ulama Hanafiyah
akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syariat pada asal dan sifatnya;
b.
Akad ghairu shahih adalah akad
yang sebagian unsurnya atau sebagian rukunnya tidak terpenuhi. Seperti akad
jual-beli bangkai dan daging babi, atau jual-beli yang dilakukan oleh orang
yang tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Akad yang seperti ini tidak
menimbulkan akibat hukum.
2.
Berdasarkan penamaannya
a.
Akad yang telah dinamai syara’, seperti
jual-beli, hibah, gadai, dll;
b.
Akad yang belum dinamai syara’ tetapi
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3.
Berdasarkan maksud dan tujuan akad
a.
Kepemilikan;
b.
Menghilangkan kepemilikan;
c.
Kemutlakan, yaitu sesorang mewakilkan
secara mutlak kepada wakilnya;
d.
Perikatan, yaitu larangan kepada
seseorang untuk beraktifitas misalnya orang gila;
e.
Penjagaan.
4.
Berdasarkan zatnya
a.
Benda yang berwujud (al-‘ain);
F.
Berakhirnya Akad
Akad itu dapat berakhir
apabila adanya pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad
mauquf (ditangguhkan). Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari
asalnya seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang
seperti pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati
selama jangka waktu yang sudah ditentukan misalnya 5 bulan, tetapi sebelum
sampai 5 bulan sudah dibatalkan.
Pada akad ghairu
lazim, yang kedua belah pihak dapat membatalkan akad, pembaltalan ini
sangat jelas seperti pada gadai, orang yang menerima gadai dibolehkan
membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan
barangnya. Adapun pembatalan pada akad lazim terdapat dalam beberapa hal yaitu:
ketika akad rusak, adanya khiyar, pembatalan akad, tidak mungkin melaksanakan
akad, masa akad berakhir.
Adapun
pembatalan akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut:
a.
Ketika akad rusak
b.
Adanya khiyar
c.
Pembatalan akad
d.
Tidak mungkin melaksanakan akad
e.
Masa akad berakhir. [9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan
ijab dan Kabul yang berakibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukanoleh
salah satu pihak, dan Kabul adalah jawaban persetujuanyang diberikan mitra akad
sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak pertama.
Syarat Terbentuknya
Akad (Syuruth al-In’iqad)
1.
Syarat terjadinya akad
2.
Syarat sah akad
3.
Syarat pelaksanaan akad
4.
Syarat Kepastian Hukum (luzum).
Rukun Akad
1.
Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dalam akad;
2.
Mahallul
‘aqd, obyek akad atau
sesuatu yang hendak diakadkan;
3.
Sighat
al-‘aqd, pernyataan kalimat
akad, yang pada umumnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.
Unsur-unsur
Akad
1.
Shighat
Akad
2.
Al-Aqid
(orang yang berakad)
3.
Mahal
aqd (al-Ma’qud Alaih)
4.
Maudhu
(Tujuan) Akad
Macam-Macam Akad
1.
Akad
Berdasarkan
ketentuan syara’
2.
Akad Berdasarkan penamaannya
3.
Akad
Berdasarkan
maksud dan tujuannya
4.
Akad
Berdasarkan
zatnya.
Berakhirnya Akad
Akad dapat berakhir
dengan pembatalan, meninggal
dunia, atau tanpa ada izin dalam akad mauquf (ditinggalkan).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. 2010. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ascarya. 2010. Akad
dan Produk Bank Syariah. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Dewi,
Gemala, dkk. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Ghazaly
, Abdul Rahman, dkk. 2010. Fiqh
Muamalat. Jakarta:
Kencana
Prenada Media Group.
Mubarok, Jaih.
2008. Wakaf Produktif. Bandung :
Simbiosa Rekatama Media
Mas’adi, Gufron A. 2002. Fiqh Muamalah
Kontektual. : Rajawali Pers.
Ramadhan,
M. Taufiq. 1998. Al-Buyu’ al-Sya’iyah wa Athar Dawabit al-Mabi’ ‘ala
Shar’iyatiha. Damaskus: Darul Fiqry.
Subekti.
1992. Hukum Perjanjian,. Cet. 14, Jakarta: Intermasa.
Syafei,
Rachmat. 2000 Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka setia
Syafe’i, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah.
Bandung : Pustaka
Setia









[1] Abd. Bin Nuh dan
Oemar Bakry, Kamus Arab, Indonesia, Inggris, cet. III
(Jakarta : Mutiara, 1964), hal. 112
[2] Mustafa al-Zarqa’,
al-Madkal al-Fiqh al-‘amm, jilid I (Beirut : Darul Fikri, 1967 –
1968), hal. 291. Dikutib oleh Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah
Kontekstual, Cet. I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
[4]
Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
2010), 70
[6] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga
larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri
sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
[7] Departemen Agama RI., Al Qur’an., hal.
122
[8]
Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada 2010), 72
[9]
Rahmat Syafei. Fiqih
Muamalah.(Bandung: Pustaka Setia 2006), 70
Langganan:
Postingan (Atom)